Laman

Senin, 13 Mei 2013

Makanan Dlam Al-Quran -Dicky Prima Dimantikha (10/296469/TK/36150)


MAKANAN                                                  
 
Makanan  atau  tha'am  dalam  bahasa  Al-Quran  adalah  segala
sesuatu  yang  dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun
termasuk dalam pengertian tha'am.  Al-Quran  surat  Al-Baqarah
ayat 249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath'am (makan)
untuk objek berkaitan dengan air minum.
 
Kata tha'am dalam berbagai bentuknya terulang  dalam  Al-Quran
sebanyak  48  kali yang antara lain berbicara tentang berbagai
aspek berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang
menggunakan kosa kata selainnya.
 
Perhatian   Al-Quran   terhadap   makanan   sedemikian  besar,
sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i,
"Telah  menjadi  kebiasaan  Allah  dalam  Al-Quran  bahwa  Dia
menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal
tersebut   melalui   uraian   tentang   ciptaan-Nya,  kemudian
memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan)."
 
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Al-Quran menjadikan kecukupan
pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab
utama kewajaran beribadah kepada  Allah.  Begitu  antara  lain
kandungan firman-Nya dalam surat Quraisy (106): 3-4,
 
    Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka
    makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi
    keamanan dari segala macam ketakutan.
 
PERINTAH MAKAN
 
Menarik  untuk  disimak bahwa bahasa Al-Quran menggunakan kata
akala dalam berbagai  bentuk  untuk  menunjuk  pada  aktivitas
"makan".  Tetapi  kata tersebut tidak digunakannya semata-mata
dalam arti "memasukkan  sesuatu  ke  tenggorokan",  tetapi  ia
berarti  juga  segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnya
surat Al-Nisa 14): 4:
 
    Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang
    kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan.
    Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari
    mas kawin itu dengan senang hati maka makanlah
    (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan)
    yang sedap lagi baik akibatnya.
 
Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus  bahkan
tidak   lazim   berupa   makanan,   namun  demikian  ayat  ini
menggunakan kata "makan" untuk penggunaan mas kawin  tersebut.
Firman Allah dalam surat Al-An'am (61: 121)
 
    Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah
    atasnya (ketika menyembelihnya)
 
Penggalan  ayat  ini  dipahami  oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud
--mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar-- sebagai larangan  untuk
melakukan  aktivitas  apa  pun yang tidak disertai nama Allah.
Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti
luas yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut
untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan  bahwa  aktivitas
membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.
 
Boleh  jadi  menarik  juga  untuk dikemukakan bahwa semua ayat
yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan  makan,
baik  yang  ditujukan  kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas,
kepada Rasul: Ya  ayyuhar  Rasul,  maupun  kepada  orang-orang
mukmin:  ya  ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan
kata halal atau dan thayyibah (baik).  Ini  menunjukkan  bahwa
makanan   yang   terbaik  adalah  yang  memenuhi  kedua  sifat
tersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat  yang
memerintahkan   orang-orang   Mukmin   untuk  makan,  lima  di
antaranya  dirangkaikan  dengan  kedua  kata   tersebut.   Dua
dirangkaikan  dengan  pesan  mengingat  Allah  dan  membagikan
makanan kepada orang melarat dan butuh, sekali  dalam  konteks
memakan    sembelihan   yang   disebut   nama   Allah   ketika
menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.
 
Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya  --baik  ketika  berbuka
puasa maupun selainnya-- dapat mengantar sang Mukmin mengingat
pesan-pesan-Nya.
 
APA YANG HALAL DIMAKAN?
 
Al-Quran menyatakan,
 
    Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi
    seluruhnya (QS Al-Baqarah [2]: 29).
 
    Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu
    segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber
    dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
 
Bertitik tolak dari kedua  ayat  tersebut  dan  beberapa  ayat
lain,  para  ulama  berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala
sesuatu  yang  ada  di  alam  raya  ini  adalah  halal   untuk
digunakan,  sehingga  makanan  yang  terdapat  didalamnya juga
adalah halal. Karena itu Al-Quran bahkan mengecam mereka  yang
mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia.
 
    Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
    diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu jadikan
    sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah,
    "Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan
    itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?" (QS
    Yunus [10]: 59).
 
Pengecualian  atau  pengharaman  harus  bersumber  dari  Allah
--baik melalui Al-Quran maupun Rasul-- sedang pengecualian itu
lahir  dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan
yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya.  Atas
dasar   ini,   turun  perintah-Nya  antara  lain  dalam  surat
Al-Baqarah (2): 168,
 
Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.   Rincian pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh para ulama, baik disebabkan oleh perbedaan penafsiran ayatayat, maupun penilaian kesahihan dan makna hadis-hadis Nabi Saw.   Makanan yang diuraikan oleh Al-Quran dapat dibagi dalam tiga kategori pokok, yaitu nabati, hewani, dan olahan.   1. Tidak ditemukan satu ayat pun yang secara eksplisit melarang makanan nabati tertentu. Surat 'Abasa yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanannya menyebutkan sekian banyak jenis tumbuhan yang telah disiapkan Allah untuk kepentingan manusia dan binatang.   Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kunna, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan untuk binatang ternakmu (QS 'Abasa [80]: 24-32).   Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu, yang kemudian terlarang, maka hal tersebut termasuk dalam larangan umum memakan sesuatu yang buruk, atau merusak kesehatan.   2. Adapun makanan jenis hewani, maka Al-Quran membaginya dalam dua kelompok besar, yaitu yang berasal dari laut dan darat.   Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14' menegaskan:   Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan sebangsanya).   Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap dibolehkan berdasarkan surat Al-Ma-idah [5]: 96:   Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan.   "Buruan laut" maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik dari laut, sungai, danau, kolam, dan 1ain-1ain. Sedang kata "makanan yang berasal dari laut" adalah ikan dan semacamnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung. Makna ini dipahami dan sejalan dengan penjelasan Rasul Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu Hurairah yang menyatakan tentang laut:   Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya   Ini menurut banyak ulama sejalan juga dengan firman Allah dalam surat Al-Ma-idah (5): 96.   Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan para ulama, apalagi ia bukan datang dari Al-Quran, tetapi riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw.   Adapun hewan yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan secara eksplisit al-an'am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan secara tegas babi. Namun ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau haram.   Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu.   Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,   Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah...   Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2): 173.   Imam Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.   Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena ia rijs (kotor).   Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul Saw. sebagai penjelas kitab suci Al-Quran. Surat Al-A'raf (7): 157 melukiskan Nabi Muhammad Saw. antara 1ain sebagai:   Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan yang khabits (buruk).   Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya.   Di samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada ayat yang lalu, mengharamkan:   Memakan sembelihan yang disembelih selain atas nama Allah, atau dalam bahasa ayat lain:   Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am [6]: 121).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar